Oleh Joseph Cheer, Stephen Pratt, dan Denis Tolkach, (lewat Jubi )

Di balik argumen ekonomi yang optimis, wajah kampanye pariwisata dan gambar-gambar di media sosial Instagram, ada prospek lain yang mengancam juga turut bermain. – Lowy Institute/ Asian Development Bank/Flickr
Citra Kepulauan Pasifik sebagai utopia yang tenteram – surga eksotis di kelilingi lambaian nyiur hijau, pantai berpasir keemasan, dan penduduk lokal yang tersenyum ramah – adalah sisa-sisa zaman kolonial yang masih bertahan sejak kontak pertama mereka di era lalu dengan orang pendatang dari Eropa.
Tema-tema dengan klise yang serupa masih sering terlihat dalam berbagai kampanye pariwisata dan iklan modern untuk mendorong dan menggugah turis asing: ‘Where happiness finds you’ (Fiji), ‘Discover the treasured islands’ (Samoa), ‘Islands the way they use to be’ (Tahiti), ‘A million different journeys’ (Papua Nugini), dan ‘Seek the unexplored’ (Kepulauan Solomon).
Ini adalah wajah yang diciptakan oleh industri pariwisata. Dalam penelitian kami, diterbitkan dalam sebuah artikel baru-baru ini, kami bertujuan untuk menemukan apa yang berada di belakang topeng ini.
Apakah sektor pariwisata berhasil menyumbangkan lebih dari sekadar remah-remah roti, di atas meja makan kepada penduduk Kepulauan Pasifik? Apakah pariwisata telah membantu, atau menghalangi persepsi masyarakat luar mengenai konteks nyata di negara-negara kepulauan Pasifik? Apakah fokus yang terlalu ditekankan kepada sektor pariwisata menutup peluang-peluang lainnya, mengingat ia bisa menjadi jalur ambigu menuju pembangunan?
Status quo
Industri pariwisata di Negara-negara Kepulauan Pasifik (Pacific island countries; PICs) saat ini, berfungsi sebagai industri unggulan dalam prospek ekonomi di wilayah tersebut. Namun, ada beberapa tema utama dan pertanyaan mengenai prospek sebenarnya dari industri ini.
Beberapa tantangan lebih bersifat praktis dan operasional. Perusahaan-perusahaan penerbangan milik negara yang beroperasi secara nasional dan internasional di negara-negara Pasifik, memiliki riwayat gelap dimana sebagian besar dari mereka memerlukan intervensi asing. Tidak seperti destinasi-destinasi Asia Tenggara, kurangnya permintaan pasaran dan persaingan meningkatkan biaya perjalanan udara ke Pasifik sehingga tiket pun sangat mahal.
Tantangan-tantangan lainnya berasal dari daya tarik. Sudah jelas bahwa konteks geopolitik Pasifik akan membawa pengaruh yang kuat pada arus pariwisata di masa depan. Pasar-pasar yang lebih tradisional adalah Australia dan Selandia Baru. Namun, yang masih menjadi pertanyaan adalah apakah tren ini akan berlanjut, atau akan bergeser ke wisatawan asal Tiongkok.
Bagaimanapun juga, dengan meningkatnya aktivitas dan peminat pariwisata dari Tiongkok, ada dua pertanyaan penting yang tersisa untuk dijawab: ‘Apakah wisatawan Tiongkok ingin mengunjungi negara-negara Kepulauan Pasifik?’, dan ‘ Apakah negara-negara PIC siap untuk melayani mereka?’
Dan kemudian ada juga tantangan dalam mencari uang atau pencapaian ekonomi saja. Indikasi keberhasilan industri pariwisata umumnya dikaitkan dengan jumlah kunjungan dan pembelanjaan, yang dilakukan oleh pengunjung internasional selama berada di negara tersebut.
Tetap, penting juga untuk mengakui dampak non-ekonomi, termasuk kepemilikan lahan, kelangsungan sosial, dan kelestarian lingkungan. Efek kebocoran dan keterkaitan dengan sektor lain juga harus diawasi, untuk mengoptimalkan keuntungan ekonomi bagi komunitas pariwisata.
Mengembangkan ketahanan industri pariwisata di komunitas destinasi tujuan itu sangat penting, jika kita ingin mempertahankan cara hidup Pasifik. Ini berarti pada dimensi non-ekonomi, yaitu kesejahteraan dan sumber mata pencaharian seperti melestarikan adat dan tradisi, serta hubungan yang menjadi fondasi suatu masyarakat, yang harus dipertahankan.
Industri pariwisata sebagai penunjang pembangunan
Organisasi-organisasi internasional percaya akan potensi pariwisata di kawasan Pasifik.
Organisasi Pariwisata Dunia PBB (UNWTO) menyatakan tahun 2017 sebagai Tahun Internasional Pariwisata Berkelanjutan untuk Pembangunan, International Year of Sustainable Tourism for Development, dan menetapkan sejumlah target untuk menghubungkan pariwisata dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Bank Dunia adalah pendukung berat pertumbuhan ekonomi yang dipimpin oleh industri pariwisata, dan aktif menempatkan industri ini sebagai sumber pemasukan utama di Pasifik. Dalam programnya yang dinamai Pacific Possible, Bank Dunia memproyeksikan bahwa pada tahun 2040, kawasan ini dapat mendatangkan 1 juta pengunjung internasional tambahan dengan nilai AS $ 1,8 miliar setiap tahunnya, menghasilkan hingga 128.000 lapangan pekerjaan.
Tetap saja, kekhawatiran tentang pariwisata dan pembangunan sudah ada sejak tahun 1980-an. Diperkirakan bahwa dalam upayanya untuk menyambut pariwisata, PICs akan terjerat dalam suatu sistem global di mana mereka hanya memiliki sedikit kendali. Ahli geografi terkenal, Stephen Britton, berpendapat bahwa peran industri pariwisata dalam mengukuhkan pembangunan sebenarnya masih dipertanyakan.
Sudah jelas bahwa pariwisata memiliki potensi untuk memberikan peluang pemberdayaan kepada masyarakat setempat. Namun, riwayat kesuksesan pariwisata sebagai penunjang pembangunan masih belum terbukti: hal ini hanya dapat dicapai dengan tata kelola yang efektif dan dengan keterlibatan tingkat lokal.
Di balik wajah pariwisata
Di balik argumen ekonomi yang optimis, wajah kampanye pariwisata dan gambar-gambar di media sosial Instagram, ada prospek lain yang mengancam juga turut bermain.
Yang pertama adalah skenario hari kiamat yang terus mendekat: perubahan iklim dan naiknya permukaan laut menunjukkan bencana yang akan terjadi dalam waktu dekat untuk beberapa negara PICs.
Kedua adalah sejumlah halangan yang terus-menerus ada dan tidak pernah berubah, untuk mendorong hasil pembangunan menjadi lebih baik. Meskipun arus bantuan pembangunan asing terus mengalir, kemajuan komunitas Pasifik masih tersendat-sendat. Pembangunan dalam bidang kesehatan dan kesejahteraan masyarakat pun nampaknya sulit untuk dicapai.
Semua bidang itu tetap sama saja meskipun kebijakan pembangunan dengan orientasi pariwisata, terus berkembang selama beberapa dekade terakhir.
Meskipun tidak adil jika kita meletakkan kelambanan dari perkembangan pembangunan di kaki industri pariwisata, kegagalan itu memicu berbagai pertanyaan tentang hipotesis pembangunan yang dipimpin industri pariwisata, gagasan yang didukung oleh Bank Dunia dan mitra-mitra pembangunan utama, Australia dan Selandia Baru.
Kalau bukan pariwisata, lalu apa?
Melihat dampak ekonominya, penduduk Kepulauan Pasifik tampaknya menginginkan lebih banyak pariwisata, bukan lebih sedikit.
Hal ini menunjukkan adanya urgensi dalam menyusun kebijakan dan rezim tata kelola, yang memungkinkan untuk bisa mengatasi kendala-kendala, dan meningkatkan keberhasilan industri pariwisata. Kedua reformasi kebijakan tersebut harus diupayakan dan dipertahankan.
Faktanya adalah ketergantungan pada industri pariwisata itu punya risikonya sendiri. Untuk negara-negara PICs, industri pariwisata memang menawarkan prospek ekonomi paling kuat. Masa depan mereka pun mungkin akan tetap sejalan dengan jalur itu. (The Interpreter Lowy Institute, 21/08/2018)