All good things come to an end, and as such, the life of an outstanding scholar and gentleman, had come to pass yesterday morning, here in Port Moresby.
The late Donigi and myself, did not see eye to eye on many national issues of importance to the nation not because of the principles behind the issues, and nor did we allow each other the opportunity to discuss or debate issues of importance to the state or international concerns, simply because he was a Sepik and I a Chimbu, and we were rallying, behind the powerful men of post independence politics, with him standing stoically behind Somare as a kinsman and myself behind Okuk.
For the better or worse, most political cadres were consumed in this shallow and empty game of cloak and dagger political manoeuvres, that destabilised the national progress in many respects to the detriment of this nation state.
Despite the hostile environment of ethnic and regional divide, reason prevailed in men of valour, such as Peter Donigi, who was an astute scholar in law and sociology, and was the chief advisor to the longest serving prime minister, in Sir Michael Somare.
I found a deeply, rooted alliance, with him, where in, he was able to premise the greatest legal blunder, crafted by the Caucasian race of European, who had frolicked the vast oceans for new lands and territories, which they annexed with force of their own self serving inequitable laws that nullified the interests of the indigenous people who were natives of the land.
Donigis arguments, on indigenous land rights, had received international attention, peaking with the United Nations General Assembly, which had passed a resolution, declaring that the indigenous people of any nation state, possessed an inalienable claim to land upon occupation and usage.
Unfortunately his intellectual ability to logical reasoning could not find anchor the political masters of our nation, including the dinosaurs of PNG politics, particularly his own Sepik Kukurai, where he had difficulty in convincing that the land actually belonged to the indigenous inhabitants, including its other properties such as the vegetation and it’s subsoil elements.
In 2005, I called into his office at the UPNG, where he was tutoring in law, and probed him on the possibility of introducing amendments to the existing legislation particularly in relation to inorganic resources in minerals and hydrocarbons. He may have had a bad day, or his mind was engaged or something else was happening, but he reluctantly dismissed my notion of an amendment by pronouncing, his motion in court applying S. 19 of the constitution to interpret the relevant mining and petroleum laws in accordance with S. 53 to include the rights of indigenous customary land right holders.
There was nothing I could do as a non lawyer, but to take my fight at the legislative front to rest my case, and to prove to Donigi that people power can be harnessed to change the legal framework for the better and faster route to restoring equitable rights.
Luck struck, on the 18 July, 2008, when I stumbled over Boka Kondra, the member for North Fly, who had presented a grievance debate on the misgivings of the gigantic Ok Tedi mine in the Star Mountains, which had little or no benefit for the indigenous land owners.
I approached him, that day, and convinced him that, he had the privilege to move a private members bill to amend the Mining Act, to remove the state, and restore the indigenous land owners as the legitimate proprietors.
Kondra accepted my proposal and gave me a blanket power of attorney to co ordinate the drafting of the amendments on the 03 of February, 2009.
I fired the instructions, to Pakgne Lawyers, to draft out the amendments to the Mining Act of 1992 and the Oil and gas Act of 1998.
The private members bills were sent to the parliamentary legal counsel for recourse, and had subsequently put on the notice paper for debate by the clerk of parliament.
For presentation and elaboration, I could think of nobody, better than Donigi, and therefore rang him and invited him to the presentation at the state function room, where he authoritatively convinced those present that, such was the law.
We endured a long campaign with him finally, drafting a master piece legislation, which Somare had shunned, and now O’Neill likewise.
Boka Kondra got caught in the maze of self glorification and aborted the proposed amendments, in exchange for a cabinet post.
With the death of the great champion of indigenous peoples land rights, I now declare war the puppets of foreign investors.
Oleh Veronika Kusumaryati, PhD dan Litbang Tabloid Jubi
BANYAK lagu populer di Papua bicara soal tanah. Berpuluh-puluh puisi pun ditulis tentangnya. Tak terhitung tulisan dan status sosial di media. Tanah, kata orang Papua adalah mama. Ia adalah sumber kehidupan orang Papua, dasar budaya hampir seluruh suku di Papua, dan tentu saja sumber imajinasi kebangsaan dan masa depan orang Papua. Berbagai penelitian pun telah dilakukan untuk melihat peran penting tanah bagi orang Papua. Sayangnya penelitian-penelitian itu, terutama yang terjadi belakangan ini, banyak yang bertujuan hanya untuk mengeksploitasi tanah orang Papua. Tak mengherankan karena penelitian-penelitian itu banyak dibiayai oleh pemerintah Indonesia, dan perusahaan-perusahaan kelapa sawit dan tambang. LSM-LSM kini juga terlibat dalam proses-proses penelitian dan pemetaan tanah orang Papua. Sayangnya LSM-LSM itu, kendati sebagian bermaksud membela kepentingan orang Papua, memakai kerangka berpikir yang justru mendukung komodifikasi tanah seperti yang dilakukan oleh aparat negara dan perusahaan. Sebagian dari usaha-usaha ini ditujukan untuk mengadvokasi kepentingan orang Papua, tapi ada juga proyek-proyek pemetaan yang dilakukan LSM yang akan digunakan untuk proyek-proyek skala besar dan internasional seperti yang dilakukan untuk Bank Dunia.
Bersama tim penelitian dan pengembangan Tabloid Jubi, saya melakukan penelitian mengenai sejarah penguasaan tanah di Papua karena kami pikir orang Papua mesti mengetahui sejarahnya sendiri, selain supaya kita bisa memahami perubahan besar-besaran yang sedang terjadi yang menarget tanah dan manusia Papua. Penelitian yang bersifat pendahuluan ini juga akan kami buka seluas-luasnya supaya masyarakat Papua bisa berpartisipasi, bukan hanya sebagai konsumen data tapi juga sebagai penciptanya. Diharapkan penelitian ini akan mengawali minat baru pada penelitian kritis tentang masalah penguasaan tanah sebagai salah satu aspek paling penting dari masalah yang dihadapi bangsa Papua.
Penelitian pendahuluan ini sendiri ingin melihat sejarah penguasaan tanah di Papua, mulai dari masa pra-kolonial ketika semua tanah di Papua menjadi milik orang Papua hingga sekarang ini ketika tanah-tanah orang Papua banyak diambil, baik dengan pembelian melalui kesepakatan, pembelian lewat penipuan, hingga paksaan, untuk proyek-proyek negara Indonesia, pertambangan, perkebunan dan jenis-jenis investasi-investasi lain, dan proyek keamanan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Indonesia. Secara waktu, cakupan penelitian ini mencakup masa 200 tahun, yaitu sejak masa kedatangan kolonial Eropa sampai masa Indonesia sekarang ini.
Kami mengolah data dari berbagai sumber, baik dari Tanah Papua, Indonesia, maupun referensi-referensi dari luar negeri. Kami mengumpulkan laporan-laporan LSM, terutama LSM lingkungan tentang proyek-proyek megabesar yang mencaplok jutaan hektar lahan, laporan-laporan jurnalistik, termasuk dari Tabloid Jubi sendiri, penelitian akademik, maupun dari dokumen-dokumen pemerintah Indonesia.
Kota Jayapura di masa pendudukan Belanda, tahun 1951 – IST
Periode Belanda
Kami memulai studi dari masa sebelum penjajahan ketika semua tanah menjadi milik orang Papua melalui sistem kepemilikan kolektif seperti suku-suku dan marga-marga (kèret). Situasi dan pola kepemilikan seperti ini sedikit berubah ketika misi Kristen dan pemerintah Belanda datang dan menguasai Tanah Papua. Seperti yang digambarkan di infografis, misionaris Kristen datang untuk pertama kali ke Papua. Mereka ‘membeli’ tanah dari orang Papua dengan cara barter. Mungkin inilah momen pertama tanah menjadi komoditas (barang dagangan) bagi orang Papua. Sama seperti yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda yang mulai mendirikan pos di Manokwari pada tahun 1898. Pemerintah kolonial Belanda mendirikan pos pemerintahannya di atas tanah orang Papua yang ‘dibeli’ secara barter (dengan kapak, cermin, dan lain-lain). Setelah berkuasa, pemerintah menerapkan hukum agraria 1870 yang berlaku di wilayah jajahan (Hindia Belanda). Seluruh Tanah Papua diklaim sebagai wilayah Belanda dan tanah-tanah yang tidak dimiliki secara pribadi maupun kolektif oleh suku dan marga di Papua dianggap sebagai tanah negara.
Setelah proses pemetaan besar-besaran yang dilakukan oleh tentara Belanda dari tahun 1907 hingga 1920-an, Belanda memulai program kolonisasi di tahun 1930-an. Transmigran Eropa dari Belanda dan orang Indo-Belanda dari Jawa didatangkan. Perkebunan-perkebunan kolonial mulai dibuka di Merauke, Manokwari, dan Jayapura dengan melibatkan investor transnasional. Pada tahun 1932, pemerintah Belanda menyewakan 6000 hektar tanah Papua ke perusahaan perkebunan Jepang Nanyo Kohatsu Kaisha. Konsesi mereka terletak di pantai utara Tanah Papua, dari Jayapura hingga Sarmi. Pada tahun 1937 perusahaan karet Negumij (Nederlandse Maatschappij voor Nieuw-Guinea) membuka kebun di dekat Jayapura. Di Ransiki dekat Manokwari, Negumij juga memegang konsesi perkebunan seluas 1000 hektar (Penders 2009).
Kompleks perumaha perusahaan minyak NNGPM (Nederlandsche Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij) – IST
Namun konsesi raksasa terbesar yang diberikan oleh Belanda ke investor asing adalah konsesi tambang ke perusahaan minyak NNGPM (Nederlandsche Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij) yang mulai beroperasi di Sorong pada tahun 1935. NNGPM adalah sebuah perusahaan minyak internasional dengan saham yang dimiliki oleh Kelompok Shell dari Belanda, melalui cabangnya bernama BPM (40%) dan dua perusahaan minyak Amerika milik keluarga Rockefeller. Standard Vacuum Oil Co. memegang 40% saham and Far Pacific Investments yang dimiliki Standard Oil of California memegang 20% saham. Luas konsesi NNGPM waktu itu mencapai 10 juta hektar yang meliputi daerah dari Kepala Burung hingga Mimika.
Periode Indonesia
Ketika Indonesia datang dengan bala tentaranya dari akhir tahun 1961, banyak aset tanah dan bangunan milik Belanda beralih ke Indonesia. Dan sejak pengalihan resmi wilayah Papua dari Belanda ke PBB (melalui UNTEA) kemudian ke Indonesia, hukum Indonesia termasuk hukum agraria mulai diberlakukan di Tanah Papua. Sama dengan Belanda, Indonesia melakukan program kolonisasi besar-besaran. Selain dengan serangan militer, pada tahun 1964 pemerintahan Sukarno memulai program transmigrasi di Papua. Program transmigrasi di Papua bertujuan bukan hanya untuk mengurangi kepadatan penduduk di Jawa atau pulau-pulau padat lainnya, melainkan lebih untuk menjaga klaim territorial mereka atas Tanah Papua. Hingga tahun 1993, Bank Dunia melaporkan bahwa 49,267 keluarga transmigran Indonesia (sekitar 272 ribu orang) telah menetap di Tanah Papua. Menurut pemerintah, jumlah transmigran diperkirakan 137 ribu keluarga. Tidak ada data pasti mengenai jumlah transmigran ini karena setiap kantor, baik pemerintah maupun kantor pendana asing (seperti Bank Dunia) memiliki data mereka sendiri, tapi juga karena sensitifnya isu transmigrasi di Papua. Ketidakpastian data ini juga kami pikir untuk menutupi dampak negatif yang sangat besar yang diakibatkan oleh program ini. Salah satu data yang sangat sulit didapatkan adalah jumlah transmigran spontan dari Indonesia yang sudah masuk ke Papua. Berbagai sumber (Aditjondro 1986 dan Osborne 1985) memperkirakan bahwa pada tahun 1990-an, transmigran spontan sudah akan mencapai 500 ribu orang, atau lebih dari separuh penduduk asli Papua. Dengan kata lain, orang Papua sudah menjadi minoritas di tanahnya sendiri. Namun dampak yang paling parah dari program ini adalah pencaplokan lahan milik orang Papua untuk tanah transmigrasi maupun perkebunan. Untuk transmigrasi resmi, pemerintah Indonesia memberikan jatah tanah sekitar 2 hektar per keluarga. Dengan dasar ini, tanah orang asli Papua yang diambil untuk program transmigrasi berkisar antara 100 ribu hingga 300 ribu hektar atau sekitar 10 hingga 30 kali luas kota Paris. Ini merupakan angka yang sangat mengerikan.
Kawasan pemukiman transmigrasi di Papua berkembang sangat pesat – IST
Belum lagi kalau kita melihat proses pencaplokan lahan yang lebih intensif melalui industri ekstraktif seperti pertambangan. Pada tahun 1967, dua tahun sebelum Penentuan Pendapat Rakyat, Indonesia mulai bekerjasama dengan Freeport McMoRan, perusahaan tambang Amerika Serikat untuk mengambil tembaga dan emas dari tanah milik orang Amungme. Berdasarkan kontrak karya pertama Freeport, tanah orang Papua yang diambil untuk proyek ini mencapai 101.171 ha. Luas ini meningkat 30 kali lipat pada tahun 1994. Dengan “penemuan” Grasberg dan penandatanganan kontrak karya kedua pada tahun 1991 dan 1994, Freeport memiliki konsesi seluas 3.642.171 hektar. Selain Freeport, Pemerintah Indonesia juga memberikan konsesi kepada berbagai perusahaan tambang nasional dan multinasional. Hingga tahun 2016, Yayasan Pusaka melaporkan bahwa 9.110.793 hektar tanah ulayat orang asli Papua atau 22% dari luas wilayah total Tanah Papua telah dikuasai tambang, termasuk konsesi-konsesi baru yang mengambil wilayah perairan, seperti tambang minyak British Petroleum (BP). Pada tahun 1997, Pemerintah Indonesia memberikan konsesi seluas 3.466 hektar ke British Petroleum (BP) untuk beroperasi di Teluk Bintuni. Meski tanah yang diambil sedikit, namun dampak operasi BP ini akan mencapai lebih dari 300 ribu hutan bakau di sekitarnya.
Seperti pada masa Belanda, sektor perkebunan juga mengakibatkan pencaplokan lahan besar-besaran. Perkebunan kelapa sawit mulai beroperasi di Tanah Papua pada tahun 1980. Hingga tahun 2017, perkebunan kelapa sawit di Tanah Papua diperkirakan telah mencapai 1.015.609,2 ha atau 15 kali luas kota Jakarta. Pembukaan perkebunan kelapa sawit juga bersamaan dengan komodifikasi hutan Papua melalui program HPH (hak pengusahaan hutan) dan HTI (hutan tanaman industri). Meski pembalakan liar sudah dilakukan jauh-jauh hari, pembalakan melalui program HPH dan HTI dimulai pada tahun 1984. Hingga tahun 2007, 14 juta hektar hutan Papua telah diberikan kepada perusahaan kayu melalui HPH dan HTI. Luas ini setara dengan sepertiga dari seluruh luas Tanah Papua.
Pada tahun 1998, Indonesia mengalami krisis ekonomi dan politik yang berakhir dengan turunnya Soeharto sebagai presiden. Reformasi pun mulai terjadi. Di antara orang Papua, momen reformasi memungkinkan konsolidasi gerakan perlawanan rakyat Papua untuk dekolonisasi. Namun Pemerintah Indonesia mengatasinya dengan memberikan otonomi khusus untuk provinsi Papua. Meski Otonomi Khusus bertujuan untuk memberikan kebebasan yang lebih besar bagi orang Papua, pada prakteknya otonomi ini tidak terlaksana, terutama dalam bidang pertanahan dan sumber daya alam. Pemerintah Indonesia terus-menerus mengeksploitasi sumber daya alam Papua, misalnya dengan proyek-proyek perkebunan, pertambangan dan infrastruktur. Pada tahun 2011, pemerintah meluncurkan proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) setelah tertunda dan diprotes selama bertahun-tahun. Proyek MIFEE ini diperkirakan telah dan akan mengambil lahan orang asli Papua seluas 2,5 juta ha.
Peta kawasan MIFEE di Merauke – IST
Pemekaran dan pembangunan infrastruktur juga mengambil tanah-tanah orang asli, misalnya, pembangunan jalan, kantor-kantor pemerintah, dan instalasi militer. Pada tahun 2015, masyarakat Papua memprotes pembangunan markas Kodam XVIII/Kasuari di Manokwari yang memakan lahan seluas 24,7 ha. Belum lagi protes serupa yang terjadi di Wamena untuk program pembangunan markas Brimob atau di Biak untuk pangkalan militer.
TORA: model pencaplokan terbaru
Pada tahun 2016, pemerintahan Joko Widodo memperkenalkan program reforma agraria. Program ini bertujuan untuk mengatasi ketimpangan kepemilikan lahan dan persoalan kemiskinan di Indonesia. Melalui program ini, Jokowi menerbitkan sebuah kebijakan bernama TORA (tanah objek reforma agraria). TORA adalah kawasan hutan dan tanah negara yang dianggap ‘tanah terlantar’ dan akan dilepaskan untuk hak kepemilikan (sertifikasi). Namun, kebijakan ini juga menetapkan bahwa 20% dari area pelepasan melalui TORA akan digunakan untuk perkebunan. Di Tanah Papua, bukannya menyasar tanah terlantar, program reforma agraria justru menyasar hutan primer. Hingga saat ini, luas hutan Papua yang SK pelepasannya sudah keluar melalui TORA mencapai 1.124.975,35 hektar. Artinya, TORA dan program reforma agraria bukannya mengatasi kemiskinan di Papua, justru memperparah kemiskinan penduduk asli. Program ini juga berarti formalisasi program pencaplokan hutan rakyat. Sejak program ini diluncurkan, Papua juga melihat peningkatan jumlah perusahaan kelapa sawit dan tebu yang mendapat konsesi di Papua, yaitu 48 perusahaan. TORA di Papua juga mengembalikan program transmigrasi yang sempat dihentikan sejarak reformasi. Hingga tahun ini, pemerintah telah melepaskan tanah seluas 84.554,51 hektar untuk program transmigrasi baru.
Hutan Papua – Dok. Jubi
Dari tinjauan jangka panjang sejarah penguasaan tanah ini kelihatan bahwa kendati orang Papua melawan, penguasaan baik dengan cara persuasi maupun paksaan terus terjadi hingga saat ini. Bahkan ada model-model penguasaan baru yang lebih massif, seperti TORA dan MIFEE. Pertanyaannya, dapatkah orang Papua di masa kini maupun masa depan mempertahankan diri dan hidup mereka di bidang kebudayaan, politik dan ekonomi tanpa mempertahankan tanah? (*)
Dr. Veronika Kusumaryati adalah antropolog dan pengajar di Harvard University.
A middle-aged man in Middle Bush, Tanna had three of his fingers cut off after an angry mob stormed his village over a land dispute.
Police told Daily Post the mob also burned down a 4 bedroom house and a Four-Wheel Drive vehicle that was used by villagers in the Middle Bush area.
Police also confirmed the arrest of seven men in the village that were allegedly directly involved in the incident.
Three of them — John Naiwa, Daniel Naiwa (the victim) and Mael Ikouo were released on bail yesterday afternoon.
Lawyer John Less Napuati said the trio are from one grouping. The other four who are still on remand are from the other disputing party.
Information relating to the attack is still sketchy but sources in the village back in Lamnatu said the fight stems from a long-time land dispute between the two families well before independence.
They said a group went to clear a garden in an area inside the disputed land and this sparked tension.
Reports said the unhappy party came to meet and solve the issue with the group who cleared the garden, but a fight broke out.
They said the matter is now under the control of police and the chiefs but the tension remains.
The dispute is said to be between the tribes of Natiang, Niere and Yauko.
The villagers said the matter has been an outstanding issue for a very long time and there were many custom meetings but they couldn’t resolve the issue. They said in the past there was a major dispute between the people of Lamnatu and Lamlu. This issue has been resolved.
The current issue a serious in-house dispute and the authorities in the village must look at ways to resolve it.
The last major land dispute in the same area around three years ago resulted in an old man knifed down in the village and three men in the community sentenced to lengthy imprisonment sentences.
Police told Daily Post that the area is gaining a reputation of having violent people.
They said the matter is now in the hands of the police and some police officers have been deployed to Tanna to help with the investigations.