Tag Archives: Port Moresby

Port Moresby: I have seen too many Evictions

Eviction in Port Moresby, Papua New Guinea
Eviction in Port Moresby, Papua New Guinea

In the past 10 years I have been and seen alot of our Papua new Guinea citizens been treated like criminals and been evicted like aminals and it breaks my heart when I see kids crying and mothers when everything they have built is taken down by police and dozers and there is nothing you can do about it.

Yes the first thing people will say is, “send them back to the village”. The only problem with this is most are 2nd or 3rd generation Highlanders and NGI who have been in the city since birth.
The only reason why people buy blocks and settle in settlements is because there is no other option for citizens. What are they supposed to do when rentals are so high and the cost of the proper land and house is over K400,000. Government has no solutions.
Everyone wants a proper home and our national Government must breach the gap for citizens with a policy that will give solve the following. 1 Family 1 home.
1. Aquire land in NCD and Central Province
2. Land owners and ILG clans be partners in any land development with the state in at rate share agreement.
3. Government puts all trunk infrastructure into the new suburbs, Eda Ranu, PNG power, Telikom. Roads.
4. Each family is identified and land given as equity for small working class families.
5. Government subsidies should cut first home buyers to about K150,000 per home. With BSP facilities it should be accessible since the land is purchased by the government.
I can’t wait until our citizens live in proper structured housing estates, that is the PNG dream. 2017 I put my hand up with my policy team Martin and Francis we have a working policy that will work only problem is political willingness to achieve all our dreams to own our own home.
Good night please my sisters and brothers do you live in block, renting, living with family and wantoks or do you own your own home??

Police step up patrol to fight crime at Badili and Koki bus stops

The National PNG – POLICE have stepped up patrols at the Koki and Badili bus stops in Port Moresby as they clamp down on petty crimes committed there.

National Capital District and Central Commander Chief Inspector Fred Tundu said anyone found to be in possession of knives, screwdrivers, iron bars and other dangerous objects would be arrested. Police units are rostered on shift duties in the area and will be on the lookout for troublemakers.

“It is like a hide-and-seek game played (by young men). When officers are at one location, they quickly move to another location making it very difficult for the officers who have only one vehicle,” he said.

He said the lack of manpower was a problem they were coping with and called on the people to support the police.

He encouraged them to post on the NCD Alert Facebook crime page any information they have on criminal activities.

Females are not only the main victims because males too are robbed of mobile phones, money and even food in plastics.

“We are starting to arrest those occupying the bus stop and blocking pedestrians,”Tundu said.

Halo OAP – Ke Melanesia atau ke Asia? Sekedar Cek-Cek, Otak OAP

Orang Asli Papua (OAP) digunakan saat ini di pulau New Guinea bagian Barat untuk membedakan Orang Papua yang TIDAK Asli, atau istilah kita orang-orang Amberi, atau umumnya kita bisa katakan orang-orang Melayu Indonesia. Jadi, dengan mengatakan OAP, kita sedang mengatakan “Saya bukan orang Melayu, saya bukan orang Indonesia”. Itu makna secara sosio-linguistik.

Tulisan ini bertujuan bertanya kepada OAP, “Apa yang timbul di pikiran, otak secara kilat, cepat, sekejap kalau Anda berpikir tentang liburan?” Libiran natal, liburan sekolah, liburan semester, liburan hari raya agama, yang begitu banyak dirayakan di wilayah Indonesia.

Dulu saya pernah punya pikiran, bahwa “Papua New Guinea itu jauh sekali, ada di pulau mana?” Begitu! Dulu saya berpikir, kalaupun Papua New Guinea itu satu pulau,jaraknya sangat jauh. Lalu saya bandingkan dengan jalan-jalan ke Sorong, Mnukwar, Byak, Serui menjadi sangat dekat, masih dalam wilayah saya sendiri. Padahal saya ada di Tanah Tabi, dan Vanimo, Papua New Guinea itu juga Tanah Tabi. Ke Vanumi butuh sepeda motor atau mobil dan satu dua jam sudah sampai di PNG.

Tetapi otak saya bilang begini,

“Ah, jangan itu jauh sekali, itu sulit, banyak tentara jaga di pos-pos perbatasan. Nanti kamu diperiksa, nanti kamu ditanya-tanya banyak, nanti banyak rumit. Lebih bagus berlihur ke Jawa, Bali, Raja Ampat, Manokwari, Wamena.”

Ini kalimat bukan dari orang lain, tidak ada iklan di TV, koran atau buku yang mengatakan seperti ini. Kalimat-kalimat ini muncul di otak secara otomatis.

Lalu saya duduk bertanya kepada diri sendiri:

Hei Jhon, kau orang Tanah Tabi, PNG itu sebagian adalah Tanah Tabi. Wamena itu wilayah La-Pago, Sorong dan Mnukwar itu wilayah Domberai dan Bomberai, Byak itu wilayah  Saierri, wilayah adatnya sudah lain. Apalagi ke Jawa dan Bali, itu ras manusianya sudah lain, agamanya sudah lain, pulau nya jaaaaaaaauh sekali.
Ada salah apa dengan otak-mu? Mengapa otakmu tidak rasional? Atau otakmu ada gangguan identitas dan identifikasi?

Dibombardir oleh pertanyaan-pertanyaan ini, saya hentikan, dengan kata, “Stop!” Saya butuh waktu untuk berpikir.

Itu terjadi tahun 2009.

Sekarang tahun 2018, yaitu sebelas tahun kemudian, saya barusan pulang dari Vanuatu, dan juga dua kali mengunjungi Papua New Guinea dalam rangka merintis kemungkinan menjual Kopi Papua, Baliem Blue Coffee ke pasar Melanesia, menyambut langkah-langkah yang sudah dilakuikan pemerintah Indonesia dan pemerintah anggota Melanesian Spearhead Group (MSG) lainnya di kasawasan kepulauan Melanesia.

Memang biayanya dua tiga kali-lipat daripada biaya untuk terbang ke Jawa, 4 kali lipat biaya ke Bali. Padahal saya hanya terbang ke pulau yang sama, pulau New Guinea dibagian Timur. Padahal sayaterbang hanya ke kawasan ras Melanesia di PNG dan Vanuatu.

Saya juga sempat singgah beberapa kali waktu pulang dan pergi di Fiji. Saya bisa merasakan kondisi di Fiji.

Setelah perjalanan ini, saya mulai berdialogue dengan diri saya sendiri, mundur 11 tahun lagi, mengulangi diskusi kani 11 tahun lalu, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya hentikan 11 tahun lalu.

Sekarang saya bertekad, produk-produk yang ada di Indonesia harus dijual di kawasan Melanesia, dan saya harus menjadi pemain aktif di dalamnya.

Saya kok jadi heran mengapa banyak kopi Filipina, Kopi Malaysia, Mie Bangladesh dan Nepal yang merajalela di Papua New Guinea, mengapa produk Vietnam dan China yang justru banyak di Vanuatu, mengapa produk India menguasai Fiji, mengapa produk Perancis menguasai Kanaky?

PADAHAL produk mereka 2 sampai 3 kali lebih mahal daripada barang-barang yang bisa dengan MUDAH dibawa dengan mobil lewat Wutung ke PNG, lalu dengan mudah ke pasar Melanesia.

Ayo! Mari kita Go-Melanesia, hai OAP, yakinkan dan percaya-kan diri sendiri, Kita Orang Melanesia, OAP orang Melanesia, kita harus berpikir dan sibuk mondari-madir, berdagang di Melanesia, dengan orang sesama Melanesia.

Apakah Otak-mu OAP, atau Anda gunakan OAP hanya dalam rangka memberontak terhadap orang-orang Melayu – Indonesia, yang Anda anggap mereka datang menduduki dan menguasai tanah leluhur bangsa Papua ras Melanesia? Kalau ini penjelasannya, itu terlalu picik, tidak membangun, tidak menguntungkan.

Mulailah melangkah, mulailah bergerak, start lalu-lalang di Melanesia, dengan sesama Melanesia. Anda akan merasakan “SESUATU YANG BERBEDA!” Jiwamu akan kesiraman Roh Leluhur,melihat saudara-saudaramu OAP di PNG, dan orang Melanesia pada umumnya. Jiwamu yang selama ini memberontak akan mendapatkan peristirahatan.

Kibat berpikir kita OAP harus kita PUTAR BALIK, dari lihat ke barat menjadi lihat ke Timur. Peluang bisnis untuk jua produk Indonesia sangat besar di sana. Jangan biarkan orang lain dari jauh-jauh saya merusak pasar Melanesia.

Pom Nature Park introduces eco-friendly bags

The National PNG

Pom Nature Park introduces eco-friendly bags
Pom Nature Park introduces eco-friendly bags

THE Port Moresby Nature Park has taken the lead in supporting the ban on plastic bags by introducing paper bags and green eco-bags in all its shops at the park.

Park general manager Michelle McGeorge said the shops in the park stopped using plastic bags as part of an attempt to support environmental sustainability.

“This also aligns with recent calls by the Minister for Environment and Conservation, John Pundari, for a ban on plastic bags in the best interest of the environment and health of all Papua New Guineans,” she said.

“It not only makes sense to reduce plastic bags from an environmental perspective, but from a business financial perspective as well.

“Business leaders must be responsible with their business practices and be serious in investingin positive changes by removing plastic bags in their business activities.

“We can stop the issues of plastic bags only when the businesses realise and start to stop the supply of plastic bags.”

McGeorge said it was an ongoing effort by Nature Park to improve its environmentally sustainable practices. It set up an environmental committee last year.

Guest relations team leader Heidi A’aru said it was the rightthing to do because it would contribute to a safer and greener environment.

“It’s also a timely move for us as the Government plans to impose a total ban on plastic bags in due time,” A’aru said.