Tag Archives: Vanuatu

‘Small and Far’: Pacific Island States Gather at Annual Forum

The 16 states are meeting this week to discuss regional challenges, particularly climate change.

The forum describes its mission as: “to work in support of forum member governments, to enhance the economic and social well-being of the people of the South Pacific by fostering cooperation between governments and between international agencies, and by representing the interests of forum members in ways agreed by the forum.” It has met annually since 1971, when the forum was founded as the South Pacific Forum.

Sixteen states in the South Pacific are members of the Pacific Islands Forum: Australia, Cook Islands, Federated States of Micronesia, Fiji, Kiribati, Nauru, New Zealand, Niue, Palau, Papua New Guinea, Republic of Marshall Islands, Samoa, Solomon Islands, Tonga, Tuvalu, and Vanuatu.

Reflecting the predominant geographic nature of the forum’s members, the theme for this year’s summit is: “Small and Far: Challenges for Growth.” While each of the members have small land masses and populations (Australia aside), their combined sovereignty covers an area of 8,538,293 sq km (3,296,653 sq mi), making their agreement over maritime concerns important not only for members of the forum, but also for states outside the forum with interests in the South Pacific.This geographic reality is usually reflected in the priority of regional fisheries and shipping lanes on the forum’s agenda. However, in recent years the impact of climate change has begun to dominate discussions within the forum.

The smaller states within the South Pacific have become a leading voice on the global stage on the issue of climate change and its potential effects on human security, as well as the environment. Pacific Island nations take climate change extremely seriously, with some forecasts predicting a potential loss of territory due to rising sea levels. For Tuvalu, a country whose highest point is only 4 meters above sea level, rising sea levels are very real threat to its existence.

This puts them at great odds with the region’s main power. Low-lying Pacific Islands deem Australia’s continued reliance on coal, as both a source of energy and a major export, a menace. Australia remains the third largest producer of coal in the world (behind China and the United States), and the world’s largest exporter of the fossil fuel, with no intention of shifting these positions.

The most prominent external issue for the forum will remain its interest in the Indonesian province of West Papua. In June this year the Solomon Islands and Vanuatu informed the United Nations Human Rights Council in Geneva that they were very concerned about the deteriorating human rights situation in West Papua. While representatives from West Papua have no involvement in the forum, many of the Melanesian states like the Solomon Islands, Vanuatu, and Papua New Guinea maintain a strong ethnic solidarity with the Indonesian province, and pay special attention to developments there.

At last year’s Forum in Port Moresby a decision was reached to organize a fact finding mission to West Papua. However, Jakarta indicated it would not welcome any delegation, and had problems with the use of the term “fact-finding.” However, West Papuan leaders in exile remain hopeful that a push for similar pressure on Indonesia will develop from this year’s forum. However, with Australia keen to maintain friendly relations with Indonesia, it is doubtful Canberra will add too much of its weight to these concerns.

The other major concern for the forum will be the continued negotiations of the Pacific Agreement on Closer Economic Relations (known as PACER Plus). There is a developing consensus among the smaller Pacific Islands states that this agreement would not promote further economic development. Given that these island states already have tariff-free and duty-free access to the Australian and New Zealand markets the PACER Plus agreement would do little to enhance this reality.

Fiji’s Prime Minister, Frank Bainimarama, has stated there “aren’t enough pluses” for Fiji to warrant signing the agreement, and the PNG Trade Minister has flatly stated he is “not interested” in it.  Of greater importance to the Pacific Island states is freer labor mobility for unskilled and semi-skilled workers within the Australian and New Zealand markets. This is seen as having a far more direct positive economic impact for these countries.

The forum will conclude on Sunday September 11 with its traditional communiqué of conclusions reached to be published shortly after.

Kehancuran Black Brothers Akibat Agenda Politik

Kompasiana – Masih akrab di telinga kita lagu-lagu lawas seperti ‘Kisah Seorang Pramuria’ dan ‘Mutiara Hitam’. Hits era 1970-an ini dipopulerkan oleh grup musik Black Brothers dari Tanah Papua. Grup ini didukung sejumlah personil berbakat, yakni Benny Betay (bass), Jochie Phiu (keyboard), Amry Tess (trompet), Stevie MR (drums), Hengky Merantoni (lead guitar), Sandhy Betay (vokal), Marthy Messet (lead vocal), Agus Rumaropen (vokal) dan David (saxophone). Formasi grup ini juga dilengkapi dengan seorang manajer, Andi Ayamiseba untuk memudahkan mereka berkiprah secara profesional.

Personel Grup Band Black Brothers, West Papua
Personel Grup Band Black Brothers, West Papua

Kepiawaian Andy Ayamiseba memanej grup musik boleh diancungi jempol. Salah satunya adalah mengubah nama grup musik ini dari sebelumnya bernama Iriantos dan setelah hijrah ke Jakarta tahun 1976 namanya diubah menjadi Black Brother. Kehadiran Black Brothers di ibukota cukup mendapat tempat di hati pecinta musik Indonesia. Banyak produser ternama yang mengikat kontrak dengan grup musik ini. Namun akibat disusupi agenda politik Papua merdeka Andy Ayamiseba pula, grup ini akhirnya lenyap dari blantika musik nasional kendati sempat tenar di Belanda dan Vanuatu. Inilah sekilas perjalanan Black Brother di penghujung ketenarannya. Tahun 1978, dibawah bimbingan sang manejer, grup ini melakukan show di Kota asalnya di Jayapura. Usai melakukan show di Kota Jayapura, mereka show ke negara tetangga Papua Nugini. Dan sekitar tahun 1980 mereka meminta suaka politik di Negeri Belanda. http://tabloidjubi.com/2012/08/20/dari-iriantos-hingga-black-brothers/ Tahun 1983 grup ini hijrah ke Vanuatu atas undangan pemerintah Vanuatu yang saat itu dipimpin Presiden Walter Lini dan Barak Sope. Konon, Black Brothers punya peran khusus dalam memberikan dukungan lewat musik untuk mendirikan negara di Pasifik Selatan itu.http://rastamaniapapua.blogspot.com/2011/06/inspirasi-perjuangan-black-brothers.html Kedekatan Andy dengan Barak Sope membuat Andy ikut marasakan dampak kejatuhan Walter Lini dari kursi kepresidenan tahun 1988 akibat mosi tidak percaya dari rakyat Vanuatu. Ia dideportasi dari negara Vanuatu. Group musik Black Brothers pun tercerai berai. Personilnya ada yang tinggal di Vanuatu dan sebagian lagi tinggal di Australia. Beberapa di antaranya sudah meninggal dunia di negeri orang.

13714238071210740313

Namun Andy tak mau bergantung pada Black Brothers yang pernah dibesarkannya. Ia melenggang sendiri demi ambisi politiknya. Ia kembali ke Vanuatu tahun 1990-an setelah namanya dihapus dari daftar imigran terlarang di negeri itu. Ia melakukan beberapa kunjungan ke Vanuatu dengan dokumen perjalanan yang disediakan oleh pemerintah Australia. Kali ini tidak lagi berkaitan dengan urusan musik, tetapi untuk menjalankan agenda politiknya yaitu membujuk pemerintah Vanuatu mendukung gerakan kemerdekaan Papua Barat. Ia mengisi hari-harinya dengan usaha dagang eksport-impor dan terus menjalin hubungan dengan faksi-faksi pendukung Papua merdeka di Vanuatu.

Atas pelanggaran urusan dagang, Andy pernah dideportasi ke negara Kepulauan Solomon oleh pemerintah Vanuatu pada 9 Pebruari 2006. Namun pihak imigrasi Solomon menolak Andy masuk ke negera itu. Andy kembali dimasukan ke dalam pesawat yang kemudian mengantarnya ke Australia, namun Andy ditolak oleh pihak imigrasi Australia yang kemudian mengirimnya kembali ke Vanuatu tanggal 10 Pebruari 2006.http://www.paclii.org/journals/fJSPL/vol10no2/5.shtml Tahun lalu, tepatnya tanggal 14 Mei 2012 mantan manajer Black Brothers ini ditangkap karena melakukan protes kepada pemerintah Vanuatu tanpa izin yang sah. Andy memprotes kebijakan Pemerintah Vanuatu menjalin kerjasama latihan militer dengan pihak Indonesia. Andy menolak kedatangan pesawat militer Vanuatu yang membawa 100 unit komputer, sebagai bagian dari perjanjian kerja sama yang ditandatangani pemerintah Indonesia dan Vanuatu. Ayamiseba menilai tindakan ini telah mengabaikan dukungan rakyat Vanuatu terhadap hak penentuan nasib sendiri bagi Papua Barat.http://politik.kompasiana.com/2012/05/17/aktivis-anti-indonesia-di-vanuatu-ditahan-463672.html Andy lahir di kota Biak, 21 April 1947 dari pasangan Dirk Ayamiseba dari Papua dan ibunya Dolfina Tan Ayomi keturunan Tionghoa. Ayahnya, Dirk Ayamiseba pernah menjadi Gubernur pertama di Papua dan Ketua DPRD-GR pertama. Sayangnya, ideologi Andy tidak sejalan dengan ayahnya yang sangat nasionalis. Andy memilih ikut berjuang bersama para aktivis Papua merdeka untuk melepaskan Papua dari NKRI. Hingga kinipun, upaya Andy itu terus dilanjutkan.

Dengan dukungan Barak Sope, Andy semakin intens terlibat bersama faksi-faksi pendukung Papua merdeka di Vanuatu. Kini Andy bersama lima rekannya sesama pengusung ideologi Papua merdeka telah dipilih mewakili Papua ke Noumea, ibukota negara New Caledonia menghadiri upacara pembukaan The 19th Melanesian Spearhead Group (MSG) Leaders Summit yang akan digelar Rabu, 19 Juni 2013 nanti. Andy tidak lagi membawa nama Black Brothers tetapi mengusung nama baru yakni West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL). Mengingat forum MSG itu adalah forum ekonomi negara-negara Melanesia, apakah Andy akan memanfaatkan WPNCL untuk memuluskan usaha dagang yang sedang dijalankannya? Hanya Andy Ayamiseba yang tahu, karena dialah yang empunya agenda itu….