Sejarah penguasaan tanah Orang Asli Papua

Oleh Veronika Kusumaryati, PhD dan Litbang Tabloid Jubi

BANYAK lagu populer di Papua bicara soal tanah. Berpuluh-puluh puisi pun ditulis tentangnya. Tak terhitung tulisan dan status sosial di media. Tanah, kata orang Papua adalah mama. Ia adalah sumber kehidupan orang Papua, dasar budaya hampir seluruh suku di Papua, dan tentu saja sumber imajinasi kebangsaan dan masa depan orang Papua. Berbagai penelitian pun telah dilakukan untuk melihat peran penting tanah bagi orang Papua. Sayangnya penelitian-penelitian itu, terutama yang terjadi belakangan ini, banyak yang bertujuan hanya untuk mengeksploitasi tanah orang Papua. Tak mengherankan karena penelitian-penelitian itu banyak dibiayai oleh pemerintah Indonesia, dan perusahaan-perusahaan kelapa sawit dan tambang.  LSM-LSM kini juga terlibat dalam proses-proses penelitian dan pemetaan tanah orang Papua. Sayangnya LSM-LSM itu, kendati sebagian bermaksud membela kepentingan orang Papua, memakai kerangka berpikir yang justru mendukung komodifikasi tanah seperti yang dilakukan oleh aparat negara dan perusahaan. Sebagian dari usaha-usaha ini ditujukan untuk mengadvokasi kepentingan orang Papua, tapi ada juga proyek-proyek pemetaan yang dilakukan LSM yang akan digunakan untuk proyek-proyek skala besar dan internasional seperti yang dilakukan untuk Bank Dunia.

LIHAT INFOGRAFIS Sejarah penguasaan tanah Orang Asli Papua

Bersama tim penelitian dan pengembangan Tabloid Jubi, saya melakukan penelitian mengenai sejarah penguasaan tanah di Papua karena kami pikir orang Papua mesti mengetahui sejarahnya sendiri, selain supaya kita bisa memahami perubahan besar-besaran yang sedang terjadi yang menarget tanah dan manusia Papua. Penelitian yang bersifat pendahuluan ini juga akan kami buka seluas-luasnya supaya masyarakat Papua bisa berpartisipasi, bukan hanya sebagai konsumen data tapi juga sebagai penciptanya. Diharapkan penelitian ini akan mengawali minat baru pada penelitian kritis tentang masalah penguasaan tanah sebagai salah satu aspek paling penting dari masalah yang dihadapi bangsa Papua.

Penelitian pendahuluan ini sendiri ingin melihat sejarah penguasaan tanah di Papua, mulai dari masa pra-kolonial ketika semua tanah di Papua menjadi milik orang Papua hingga sekarang ini ketika tanah-tanah orang Papua banyak diambil, baik dengan pembelian melalui kesepakatan, pembelian lewat penipuan, hingga paksaan, untuk proyek-proyek negara Indonesia, pertambangan, perkebunan dan jenis-jenis investasi-investasi lain, dan proyek keamanan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Indonesia. Secara waktu, cakupan penelitian ini mencakup masa 200 tahun, yaitu sejak masa kedatangan kolonial Eropa sampai masa Indonesia sekarang ini.

Kami mengolah data dari berbagai sumber, baik dari Tanah Papua, Indonesia, maupun referensi-referensi dari luar negeri. Kami mengumpulkan laporan-laporan LSM, terutama LSM lingkungan tentang proyek-proyek megabesar yang mencaplok jutaan hektar lahan, laporan-laporan jurnalistik, termasuk dari Tabloid Jubi sendiri, penelitian akademik, maupun dari dokumen-dokumen pemerintah Indonesia.

Kota Jayapura di masa pendudukan Belanda, tahun 1951 - IST
Kota Jayapura di masa pendudukan Belanda, tahun 1951 – IST

Periode Belanda

Kami memulai studi dari masa sebelum penjajahan ketika semua tanah menjadi milik orang Papua melalui sistem kepemilikan kolektif seperti suku-suku dan marga-marga (kèret). Situasi dan pola kepemilikan seperti ini sedikit berubah ketika misi Kristen dan pemerintah Belanda datang dan menguasai Tanah Papua. Seperti yang digambarkan di infografis, misionaris Kristen datang untuk pertama kali ke Papua. Mereka ‘membeli’ tanah dari orang Papua dengan cara barter. Mungkin inilah momen pertama tanah menjadi komoditas (barang dagangan) bagi orang Papua. Sama seperti yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda yang mulai mendirikan pos di Manokwari pada tahun 1898. Pemerintah kolonial Belanda mendirikan pos pemerintahannya di atas tanah orang Papua yang ‘dibeli’ secara barter (dengan kapak, cermin, dan lain-lain). Setelah berkuasa, pemerintah menerapkan hukum agraria 1870 yang berlaku di wilayah jajahan (Hindia Belanda). Seluruh Tanah Papua diklaim sebagai wilayah Belanda dan tanah-tanah yang tidak dimiliki secara pribadi maupun kolektif oleh suku dan marga di Papua dianggap sebagai tanah negara.

Setelah proses pemetaan besar-besaran yang dilakukan oleh tentara Belanda dari tahun 1907 hingga 1920-an, Belanda memulai program kolonisasi di tahun 1930-an. Transmigran Eropa dari Belanda dan orang Indo-Belanda dari Jawa didatangkan. Perkebunan-perkebunan kolonial mulai dibuka di Merauke, Manokwari, dan Jayapura dengan melibatkan investor transnasional.  Pada tahun 1932, pemerintah Belanda menyewakan 6000 hektar tanah Papua ke perusahaan perkebunan Jepang Nanyo Kohatsu Kaisha. Konsesi mereka terletak di pantai utara Tanah Papua, dari Jayapura hingga Sarmi. Pada tahun 1937 perusahaan karet Negumij (Nederlandse Maatschappij voor Nieuw-Guinea) membuka kebun di dekat Jayapura. Di Ransiki dekat Manokwari, Negumij juga memegang konsesi perkebunan seluas 1000 hektar (Penders 2009).

Kompleks perumaha perusahaan minyak NNGPM (Nederlandsche Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij) - IST
Kompleks perumaha perusahaan minyak NNGPM (Nederlandsche Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij) – IST

Namun konsesi raksasa terbesar yang diberikan oleh Belanda ke investor asing adalah konsesi tambang ke perusahaan minyak NNGPM (Nederlandsche Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij) yang mulai beroperasi di Sorong pada tahun 1935. NNGPM adalah sebuah perusahaan minyak internasional dengan saham yang dimiliki oleh Kelompok Shell dari Belanda, melalui cabangnya bernama BPM (40%) dan dua perusahaan minyak Amerika milik keluarga Rockefeller. Standard Vacuum Oil Co.  memegang 40% saham and Far Pacific Investments yang dimiliki Standard Oil of California memegang 20% saham. Luas konsesi NNGPM waktu itu mencapai 10 juta hektar yang meliputi daerah dari Kepala Burung hingga Mimika.

Periode Indonesia

Ketika Indonesia datang dengan bala tentaranya dari akhir tahun 1961, banyak aset tanah dan bangunan milik Belanda beralih ke Indonesia. Dan sejak pengalihan resmi wilayah Papua dari Belanda ke PBB (melalui UNTEA) kemudian ke Indonesia, hukum Indonesia termasuk hukum agraria mulai diberlakukan di Tanah Papua. Sama dengan Belanda, Indonesia melakukan program kolonisasi besar-besaran. Selain dengan serangan militer, pada tahun 1964 pemerintahan Sukarno memulai program transmigrasi di Papua. Program transmigrasi di Papua bertujuan bukan hanya untuk mengurangi kepadatan penduduk di Jawa atau pulau-pulau padat lainnya, melainkan lebih untuk menjaga klaim territorial mereka atas Tanah Papua. Hingga tahun 1993, Bank Dunia melaporkan bahwa 49,267 keluarga transmigran Indonesia (sekitar 272 ribu orang) telah menetap di Tanah Papua. Menurut pemerintah, jumlah transmigran diperkirakan 137 ribu keluarga. Tidak ada data pasti mengenai jumlah transmigran ini karena setiap kantor, baik pemerintah maupun kantor pendana asing (seperti Bank Dunia) memiliki data mereka sendiri, tapi juga karena sensitifnya isu transmigrasi di Papua. Ketidakpastian data ini juga kami pikir untuk menutupi dampak negatif yang sangat besar yang diakibatkan oleh program ini. Salah satu data yang sangat sulit didapatkan adalah jumlah transmigran spontan dari Indonesia yang sudah masuk ke Papua. Berbagai sumber (Aditjondro 1986 dan Osborne 1985) memperkirakan bahwa pada tahun 1990-an, transmigran spontan sudah akan mencapai 500 ribu orang, atau lebih dari separuh penduduk asli Papua. Dengan kata lain, orang Papua sudah menjadi minoritas di tanahnya sendiri. Namun dampak yang paling parah dari program ini adalah pencaplokan lahan milik orang Papua untuk tanah transmigrasi maupun perkebunan. Untuk transmigrasi resmi, pemerintah Indonesia memberikan jatah tanah sekitar 2 hektar per keluarga. Dengan dasar ini, tanah orang asli Papua yang diambil untuk program transmigrasi berkisar antara 100 ribu hingga 300 ribu hektar atau sekitar 10 hingga 30 kali luas kota Paris. Ini merupakan angka yang sangat mengerikan.

Kawasan pemukiman transmigrasi di Papua berkembang sangat pesat - IST
Kawasan pemukiman transmigrasi di Papua berkembang sangat pesat – IST

Belum lagi kalau kita melihat proses pencaplokan lahan yang lebih intensif melalui industri ekstraktif seperti pertambangan. Pada tahun 1967, dua tahun sebelum Penentuan Pendapat Rakyat, Indonesia mulai bekerjasama dengan Freeport McMoRan, perusahaan tambang Amerika Serikat untuk mengambil tembaga dan emas dari tanah milik orang Amungme. Berdasarkan kontrak karya pertama Freeport, tanah orang Papua yang diambil untuk proyek ini mencapai 101.171 ha. Luas ini meningkat 30 kali lipat pada tahun 1994. Dengan “penemuan” Grasberg dan penandatanganan kontrak karya kedua pada tahun 1991 dan 1994, Freeport memiliki konsesi seluas 3.642.171 hektar. Selain Freeport, Pemerintah Indonesia juga memberikan konsesi kepada berbagai perusahaan tambang nasional dan multinasional. Hingga tahun 2016, Yayasan Pusaka melaporkan bahwa 9.110.793 hektar tanah ulayat orang asli Papua atau 22% dari luas wilayah total Tanah Papua telah dikuasai tambang, termasuk konsesi-konsesi baru yang mengambil wilayah perairan, seperti tambang minyak British Petroleum (BP). Pada tahun 1997, Pemerintah Indonesia memberikan konsesi seluas 3.466 hektar ke British Petroleum (BP) untuk beroperasi di Teluk Bintuni. Meski tanah yang diambil sedikit, namun dampak operasi BP ini akan mencapai lebih dari 300 ribu hutan bakau di sekitarnya.

Seperti pada masa Belanda, sektor perkebunan juga mengakibatkan pencaplokan lahan besar-besaran. Perkebunan kelapa sawit mulai beroperasi di Tanah Papua pada tahun 1980. Hingga tahun 2017, perkebunan kelapa sawit di Tanah Papua diperkirakan telah mencapai 1.015.609,2 ha atau 15 kali luas kota Jakarta. Pembukaan perkebunan kelapa sawit juga bersamaan dengan komodifikasi hutan Papua melalui program HPH (hak pengusahaan hutan) dan HTI (hutan tanaman industri). Meski pembalakan liar sudah dilakukan jauh-jauh hari, pembalakan melalui program HPH dan HTI dimulai pada tahun 1984. Hingga tahun 2007, 14 juta hektar hutan Papua telah diberikan kepada perusahaan kayu melalui HPH dan HTI. Luas ini setara dengan sepertiga dari seluruh luas Tanah Papua.

Pada tahun 1998, Indonesia mengalami krisis ekonomi dan politik yang berakhir dengan turunnya Soeharto sebagai presiden. Reformasi pun mulai terjadi. Di antara orang Papua, momen reformasi memungkinkan konsolidasi gerakan perlawanan rakyat Papua untuk dekolonisasi. Namun Pemerintah Indonesia mengatasinya dengan memberikan otonomi khusus untuk provinsi Papua. Meski Otonomi Khusus bertujuan untuk memberikan kebebasan yang lebih besar bagi orang Papua, pada prakteknya otonomi ini tidak terlaksana, terutama dalam bidang pertanahan dan sumber daya alam. Pemerintah Indonesia terus-menerus mengeksploitasi sumber daya alam Papua, misalnya dengan proyek-proyek perkebunan, pertambangan dan infrastruktur. Pada tahun 2011, pemerintah meluncurkan proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) setelah tertunda dan diprotes selama bertahun-tahun. Proyek MIFEE ini diperkirakan telah dan akan mengambil lahan orang asli Papua seluas 2,5 juta ha.

Peta kawasan MIFEE di Merauke - IST
Peta kawasan MIFEE di Merauke – IST

Pemekaran dan pembangunan infrastruktur juga mengambil tanah-tanah orang asli, misalnya, pembangunan jalan, kantor-kantor pemerintah, dan instalasi militer. Pada tahun 2015, masyarakat Papua memprotes pembangunan markas Kodam XVIII/Kasuari di Manokwari yang memakan lahan seluas 24,7 ha. Belum lagi protes serupa yang terjadi di Wamena untuk program pembangunan markas Brimob atau di Biak untuk pangkalan militer.

TORA: model pencaplokan terbaru

Pada tahun 2016, pemerintahan Joko Widodo memperkenalkan program reforma agraria. Program ini bertujuan untuk mengatasi ketimpangan kepemilikan lahan dan persoalan kemiskinan di Indonesia. Melalui program ini, Jokowi menerbitkan sebuah kebijakan bernama TORA (tanah objek reforma agraria). TORA adalah kawasan hutan dan tanah negara yang dianggap ‘tanah terlantar’ dan akan dilepaskan untuk hak kepemilikan (sertifikasi). Namun, kebijakan ini juga menetapkan bahwa 20% dari area pelepasan melalui TORA akan digunakan untuk perkebunan. Di Tanah Papua, bukannya menyasar tanah terlantar, program reforma agraria justru menyasar hutan primer. Hingga saat ini, luas hutan Papua yang SK pelepasannya sudah keluar melalui TORA mencapai 1.124.975,35 hektar. Artinya, TORA dan program reforma agraria bukannya mengatasi kemiskinan di Papua, justru memperparah kemiskinan penduduk asli. Program ini juga berarti formalisasi program pencaplokan hutan rakyat. Sejak program ini diluncurkan, Papua juga melihat peningkatan jumlah perusahaan kelapa sawit dan tebu yang mendapat konsesi di Papua, yaitu 48 perusahaan. TORA di Papua juga mengembalikan program transmigrasi yang sempat dihentikan sejarak reformasi. Hingga tahun ini, pemerintah telah melepaskan tanah seluas 84.554,51 hektar untuk program transmigrasi baru.

Hutan Papua - Dok. Jubi
Hutan Papua – Dok. Jubi

Dari tinjauan jangka panjang sejarah penguasaan tanah ini kelihatan bahwa kendati orang Papua melawan, penguasaan baik dengan cara persuasi maupun paksaan terus terjadi hingga saat ini. Bahkan ada model-model penguasaan baru yang lebih massif, seperti TORA dan MIFEE. Pertanyaannya, dapatkah orang Papua di masa kini maupun masa depan mempertahankan diri dan hidup mereka di bidang kebudayaan, politik dan ekonomi tanpa mempertahankan tanah? (*)

Dr. Veronika Kusumaryati adalah antropolog dan pengajar di Harvard University.

PIANGO commends Futuna traditional leaders’ decision to disallow seabed mining

Pacific Islands Association of Non-governmental Organisations (PIANGO) executive director Emele Duituturaga. Picture: SUPPLIED/PIANGO
Pacific Islands Association of Non-governmental Organisations (PIANGO) executive director Emele Duituturaga. Picture: SUPPLIED/PIANGO

THE Pacific Islands Association of Non-Governmental Organisations (PIANGO) has praised the decision of the traditional elders of the Pacific island of Futuna for disallowing any work related to seabed mining in their waters.

The traditional kingdoms on Futuna had stated that their decision, expressed at a meeting in Futuna with French delegates sent to explain the potential of mining rare earths, was final and that any discussion about land matters had to be held with the customary leadership and not with the assembly of Wallis and Futuna.

And PIANGO executive director Emele Duituturaga said they stood with other regional NGOs and Pacific churches in the continued call for a ban on seabed mining.

“We have not seen income from terrestrial mining improve the lives of Pacific peoples and we doubt very much this will be the case for seabed mining,” Ms Duituturaga said.

She added it was still unclear what level of income governments will receive – “let alone communities”.

Ms Duituturaga said the changing climate leading to warming of the ocean was already having an impact on fisheries and ocean livelihoods in the region.

She said that evidence showed some local fishing practices and land uses were also damaging the health of local food supplies on the coasts and inland, and it was becoming increasingly difficult to maintain the health and integrity of those sources, especially after a disaster and resource extraction.

She added they often could not afford to buy food and water from other sources and the threat seabed mining posed on the surrounding environment would further compound this.

“There is little consideration for what will happen and what kind of remedies are available if planned exploration/ exploitation severely disrupts the environment. The ocean is a global commons. It belongs to us all; and we are all affected by changes in it.”

Ms Duituturaga commended the traditional leaders for making such a bold decision in the interests of their people.

She said PIANGO urged Pacific island governments to be responsible on this issue and not make hasty decisions.

“We are insistent that independent social and environmental studies are conducted.

“We are concerned that biodiversity and life under the sea will be destroyed and these minerals that have taken thousands of years to deposit will be extracted without replenishment.

“There is no evidence to assure us that that seabed mining is not harmful and not disruptive to livelihoods from the surrounding oceans.”

Kanak custom on two-week exhibition in Suva

VILIMAINA NAQELEVUKI, FijiTimes

A painting of the Kanak people by artist and photographer Sebastien Lebegue that is exhibited at the Alliance Française de Suva. Picture: VILIMAINA NAQELEVUKI
A painting of the Kanak people by artist and photographer Sebastien Lebegue that is exhibited at the Alliance Française de Suva. Picture: VILIMAINA NAQELEVUKI

THE COUTUME Kanak (Kanak Custom) exhibition is an introduction talking mainly about territory, social structure and what the society is for the indigenous people of New Caledonia.

This was highlighted by Artist and Photographer Sebastien Lebegue in an interview with this newspaper today.

Lebegue has worked on these pieces for the past five years.

“We continue with the gestures on how to enter into a clan because the connection is mainly about the relationship between two clans, they have some ceremonies to unite or make alliances,” Lebegme said.

He said the uniqueness of the pieces lay within the portraits itself, where the Kanak people had shared their stories with him.

“One more installation is about the people, people in New Caledonia I could meet, they give me their own testimonies of what is Kanak customs so the portraits have some acrylic and they represent the people. This is just a few potraits, normally there is about 105 potraits painted,” he said.

Lebegue acknowledged the Alliance Française de Suva for giving him the opportunity to display his work in Fiji.

“I am very glad that Alliance Française proposed to have the exhibition here in Fiji because Kanaks are Melanesian and so some of their customs are very similar to Fiji and to show it here is a really big privilege.”

Cultural director for Alliance Française de Suva Charlotte Tassel said they were really intrigued with the fact that Lebegue was studying about the Kanak people.

“His approach is very interesting, he draws very well. He takes a step back and he is just showing the pieces as it is and we thought it would be very interesting to connect it with the Fijian culture to show this Kanak culture to the Fijian people here because there is a lot of similarities,” Ms Tassel said.

The exhibition will be held from September 20 and ends on October 5, 2018, at the Oceania Centre at USP.

Fiji invited to work closely with UN in shaping the 2019 UN Climate Summit

Fiji PM Voreqe Bainimarama presents a gift to the 73rd session of the United Nations General Assembly María Fernanda Espinosa Garcés. Picrture: SUPPLIED
Fiji PM Voreqe Bainimarama presents a gift to the 73rd session of the United Nations General Assembly María Fernanda Espinosa Garcés. Picrture: SUPPLIED

FIJI has been invited by the United Nations to work closely with them to shape next year’s UN Climate Summit convening on September 17 in 2019.

Fiji’s global leadership on climate change and oceans was praised by the president of the 73rd Session of the United Nations General Assembly (UNGA), María Fernanda Espinosa Garcés, at a meeting in in New York with Prime Minister Voreqe Bainimarama.

Mr Bainimarama met Ms Garcés to talk about a range of issues, including the need for closer collaboration between Fiji and the UNGA to make the UN more relevant to Fijian communities, families and ordinary citizens.

The Fijian PM outlined his priorities for the 73rd Session of the United Nations General Assembly and conveyed his full support towards Ms Garcés in her leadership of the session.

Ms Garcés also commended Mr Bainimarama on his efforts on gender parity in the military and peacekeeping operations.

While in New York, the Prime Minister will take part in a number of high-level bilateral meetings with other global leaders, including other heads of Government, and make statements in a series of forums that address the pressing issues facing Fiji.

Mr Bainimarama will deliver Fiji’s national statement at the United National General Assembly on Friday September 28, 2018.

The 73rd UNGA will open on Tuesday, September 25, and come to a close on Friday, October 5

International-proven method to combat riverbank erosion

The Ministry of Waterways and Environment is considering the use of vetiver grass system to stabilise riverbanks and reduce soil erosion. Picture: FT FILE
The Ministry of Waterways and Environment is considering the use of vetiver grass system to stabilise riverbanks and reduce soil erosion. Picture: FT FILE

FIJI’S Ministry of Waterways and Environment will soon implement an internationally-proven methodology to combat riverbank erosion around the country.

Unsustainable land management activities have led to the prevalence of land erosion along river banks.

According to the permanent secretary for the Ministry of Local Government and Environment, Joshua Wycliffe, the vetiver system for river bank stabilisation and sustainable management of land and water was an integrated approach to use green technologies for riverbank stabilisation, coastal and environmental protection.

Through the system, he said riverbank erosion could be reduced by nearly eight to 10 times if the vetiver grass system was utilised.

“This system can also reduce impacts of contaminated water and improve its quality (through trapping debris, toxic chemicals, sediments, and particles),” Mr Wycliffe said.

“The ministry has thus considered using this grass system to stabilise our riverbanks and reduce soil erosion. This would strengthen our resilience to river bank erosion, catchment erosion, and mitigating flood impacts.”

The program will commence in Tailevu and Nadi soon.

Source: http://www.fijitimes.com

Climate change disproportionately affected women and girls in Fiji: Luveni

Speaker Dr Jiko Luveni with other invited Speakers at the forum. Picture: SUPPLIED
Speaker Dr Jiko Luveni with other invited Speakers at the forum. Picture: SUPPLIED

FIJI, like many Pacific islands, faced the threat of several challenges that made it vulnerable to climate change and natural disasters.

This was highlighted by Fiji’s Speaker of Parliament Dr Jiko Luveni during the Second Eurasian Women’s Forum that was held in major convention centres and cultural venues in the historical centre of St. Petersburg, Russia, from September 19-21.

Dr Luveni was invited to attend the forum by the Federation Council Speaker, Valentina Matviyenko, which was organised by the Federation Council and the Inter-Parliamentary Assembly of the Council of Independent States (CIS), with support from several ministries, agencies and NGOs.

In her opening address, Dr Luveni said the effect of climate change disproportionately affected women and girls in Fiji.

She said women needed to have full political, economic and social participation that would ensure the notion of leaving no one behind towards Fiji’s pursuit for sustainable development.

She adds every nation should have a national plan to effectively address women’s issues.

Source: http://www.fijitimes.com/

Over 150 Evicted in ‘MCI OPS’ in Tagabe

Over 150 Evicted in ‘MCI OPS’
Over 150 Evicted in ‘MCI OPS’

More than 150 people, including children had to find shelter last night after police executed a Court order to evict them from the MCI area in Tagabe.

Field Commander, Inspector Willie Amkori said the tenants were given time to move but they failed to comply and at the end of the day, no one is above the law.

Earlier yesterday an urgent application was filled to stay the order but it was refused by the court.

The proceeding was filed to give more time to the residents in the affected area behind MCI in Tagabe to move their belongings.

The applicant — Maliwan Philip of Tanna — who was affected by the eviction order told the court with his lawyer, Erick Molbaleh, that the property they were living in was registered under the name of Ginette Dousseron, the respondent.

But the court noted that property title No. 12/0633/1139, 12/0633/1140 and 12/0633/1141 were the properties of the respondent of this case (both Philip Paget and Mrs Dousseron) and Mr Maliwan Philip has no legal standing in the matter.

“It is hereby ordered that the application to stay the enforcement warrant issued on the August 28, 2018 is not granted,” Deputy Master Aurelie Tamseul said.

“The Sheriff is to proceed with the execution of the enforcement warrant”.

The eviction, dubbed ‘MCI OPS’ was carried out successfully with no physical threats under the supervision of Inspector Amkori and under the watch of more than 15 police and mobile officers who were deployed to remove the occupants off the property.

Daily Post’s investigation has found that the properties were registered under the name of Mrs Dousseron but she had mortgaged the land some years ago and failed to pay back her mortgagee (Bred Bank).

In another enforcement order issued on August 28, 2018, Mrs Dousseron was ordered by the Bank to pay more than Vt8.4 million with an interest of more than Vt3.4 million plus but she failed to do so.

The court then granted Bred Bank the right to seize and sell the titles registered under the name of Mrs Dousseron as the debtor in this case.

The investigation also revealed that Mrs Dousseron sold out the lease NO. 12/0633/1138 to satisfy her other liabilities and failed to payback the Bank as the mortgagee.

In the same matter, Master Cybelle Cenac-Maragh empowered the Mortgagee (Bred) to sell and transfer the leasehold property contained and described as title NO. 12/0633/1139, 12/0633/1140 and 12/0633/1141 on April 26, 2016.

“That pending such sale and transfer the claimant (Bred) as mortgagee or any agents duly authorized by it in writing be empowered to enter the property and acting all respects in the place and on behalf of the proprietor of the leases, and to apply in reduction monies due and owing to the Applicant (Bred) all or any rent received in respect of the said property,” she said.

Yesterday morning when the enforcement officers arrived at the scene, Mrs Dousseron was not around but Inspector Amkori said that she left the previous night before with her belongings.

A Tanna man who wished to remain anonymous said that they lived there before Mrs Dousseron became the proprietor of the property and they lived with her but in the final hours before the eviction, she left.

He said they were living as one community of Tanna, North Efate and Ambae on the property. Part of the community reside inside the affected area, however the eviction has forced the victims to move to the other side.

The community told Daily Post that the unaffected side belongs to Ifira custom landowners and they settled there through some agreements, while others have sought refuge to other relatives in Port Vila suburbs.

A lands officer was also called to the scene yesterday after Philip Paget had wrongly marked the property, compared to the one they had on the map and forced some people who were not supposed to move to demolish their houses out of fear.

They had to build a new house again after the land officer marked the property.

After four hours of eviction, Inspector Amkori handed the property to the new owner at 12.30pm. The victims were allowed on the property to take their possessions and salvage materials to build new shelters.

The Inspector said he is sorry for the victims but police were simply executing court orders.

He appealed to people in similar situations not to wait for police to go and move them off a property, but comply with court orders once they got served.

At the Devil Point Thieves Assault Expat, Steal Gun

A gun has been reported stolen after an attack at the Devil’s Point during an alleged house robbery last weekend, police told Daily Post.

Commander South Superintendent Jackson Noal said police attended the incident and asked communities around the area to cooperate if they saw any suspicious activities and have information that might lead to the suspects.

Mr Noal said no one has been arrested in relation to the attack so far but confirmed that according to eyewitnesses, four people were involved.

He said the victim is a cousin of the person who owns the property and he was at home on Friday night when he heard the dogs barking so he went outside to check.

That was when the men assaulted him and took the gun.

Superintendent Noal said the owner of the house was on his way to the property due to an earlier call he received from the victim before he was attacked.

He said the victim was not seriously injured but the case itself is a serious by its nature.

He described the incident as ‘brazen and confronting’.

Devil’s Point area has been the location of serious robberies in the past and some cases are still pending investigation. Police said thieves are targeting the expatriate community in the area.

Mr Noal said stealing the gun poses a threat to the communities on Devils Point road and other surrounding communities.

He said police officers are patrolling around the clock and any information to what might give a good trail needed to be reported the police before someone else gets hurt.

The case is now under police investigation but any collaboration or tip-off would be appreciated.

Residents in the Devil’s Point area are advised to remain inside their houses at night and call the police immediately on their toll free line – 111 to report any suspicious activities.

Apakah pariwisata di Pasifik berhasil mengukuhkan pembangunan?

Oleh Joseph Cheer, Stephen Pratt, dan Denis Tolkach, (lewat Jubi )

Di balik argumen ekonomi yang optimis, wajah kampanye pariwisata dan gambar-gambar di media sosial Instagram, ada prospek lain yang mengancam juga turut bermain. - Lowy Institute/ Asian Development Bank/Flickr
Di balik argumen ekonomi yang optimis, wajah kampanye pariwisata dan gambar-gambar di media sosial Instagram, ada prospek lain yang mengancam juga turut bermain. – Lowy Institute/ Asian Development Bank/Flickr

Citra Kepulauan Pasifik sebagai utopia yang tenteram – surga eksotis di kelilingi lambaian nyiur hijau, pantai berpasir keemasan, dan penduduk lokal yang tersenyum ramah – adalah sisa-sisa zaman kolonial yang masih bertahan sejak kontak pertama mereka di era lalu dengan orang pendatang dari Eropa.

Tema-tema dengan klise yang serupa masih sering terlihat dalam berbagai kampanye pariwisata dan iklan modern untuk mendorong dan menggugah turis asing: ‘Where happiness finds you’ (Fiji), ‘Discover the treasured islands’ (Samoa), ‘Islands the way they use to be’ (Tahiti), ‘A million different journeys’ (Papua Nugini), dan ‘Seek the unexplored’ (Kepulauan Solomon).

Ini adalah wajah yang diciptakan oleh industri pariwisata. Dalam penelitian kami, diterbitkan dalam sebuah artikel baru-baru ini, kami bertujuan untuk menemukan apa yang berada di belakang topeng ini.

Apakah sektor pariwisata berhasil menyumbangkan lebih dari sekadar remah-remah roti, di atas meja makan kepada penduduk Kepulauan Pasifik? Apakah pariwisata telah membantu, atau menghalangi persepsi masyarakat luar mengenai konteks nyata di negara-negara kepulauan Pasifik? Apakah fokus yang terlalu ditekankan kepada sektor pariwisata menutup peluang-peluang lainnya, mengingat ia bisa menjadi jalur ambigu menuju pembangunan?

Status quo

Industri pariwisata di Negara-negara Kepulauan Pasifik (Pacific island countries; PICs) saat ini, berfungsi sebagai industri unggulan dalam prospek ekonomi di wilayah tersebut. Namun, ada beberapa tema utama dan pertanyaan mengenai prospek sebenarnya dari industri ini.

Beberapa tantangan lebih bersifat praktis dan operasional. Perusahaan-perusahaan penerbangan milik negara yang beroperasi secara nasional dan internasional di negara-negara Pasifik, memiliki riwayat gelap dimana sebagian besar dari mereka memerlukan intervensi asing. Tidak seperti destinasi-destinasi Asia Tenggara, kurangnya permintaan pasaran dan persaingan meningkatkan biaya perjalanan udara ke Pasifik sehingga tiket pun sangat mahal.

Tantangan-tantangan lainnya berasal dari daya tarik. Sudah jelas bahwa konteks geopolitik Pasifik akan membawa pengaruh yang kuat pada arus pariwisata di masa depan. Pasar-pasar yang lebih tradisional adalah Australia dan Selandia Baru. Namun, yang masih menjadi pertanyaan adalah apakah tren ini akan berlanjut, atau akan bergeser ke wisatawan asal Tiongkok.

Bagaimanapun juga, dengan meningkatnya aktivitas dan peminat pariwisata dari Tiongkok, ada dua pertanyaan penting yang tersisa untuk dijawab: ‘Apakah wisatawan Tiongkok ingin mengunjungi negara-negara Kepulauan Pasifik?’, dan ‘ Apakah negara-negara PIC siap untuk melayani mereka?’

Dan kemudian ada juga tantangan dalam mencari uang atau pencapaian ekonomi saja. Indikasi keberhasilan industri pariwisata umumnya dikaitkan dengan jumlah kunjungan dan pembelanjaan, yang dilakukan oleh pengunjung internasional selama berada di negara tersebut.

Tetap, penting juga untuk mengakui dampak non-ekonomi, termasuk kepemilikan lahan, kelangsungan sosial, dan kelestarian lingkungan. Efek kebocoran dan keterkaitan dengan sektor lain juga harus diawasi, untuk mengoptimalkan keuntungan ekonomi bagi komunitas pariwisata.

Mengembangkan ketahanan industri pariwisata di komunitas destinasi tujuan itu sangat penting, jika kita ingin mempertahankan cara hidup Pasifik. Ini berarti pada dimensi non-ekonomi, yaitu kesejahteraan dan sumber mata pencaharian seperti melestarikan adat dan tradisi, serta hubungan yang menjadi fondasi suatu masyarakat, yang harus dipertahankan.

Industri pariwisata sebagai penunjang pembangunan

Organisasi-organisasi internasional percaya akan potensi pariwisata di kawasan Pasifik.

Organisasi Pariwisata Dunia PBB (UNWTO) menyatakan tahun 2017 sebagai Tahun Internasional Pariwisata Berkelanjutan untuk Pembangunan, International Year of Sustainable Tourism for Development, dan menetapkan sejumlah target untuk menghubungkan pariwisata dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Bank Dunia adalah pendukung berat pertumbuhan ekonomi yang dipimpin oleh industri pariwisata, dan aktif menempatkan industri ini sebagai sumber pemasukan utama di Pasifik. Dalam programnya yang dinamai Pacific Possible, Bank Dunia memproyeksikan bahwa pada tahun 2040, kawasan ini dapat mendatangkan 1 juta pengunjung internasional tambahan dengan nilai AS $ 1,8 miliar setiap tahunnya, menghasilkan hingga 128.000 lapangan pekerjaan.

Tetap saja, kekhawatiran tentang pariwisata dan pembangunan sudah ada sejak tahun 1980-an. Diperkirakan bahwa dalam upayanya untuk menyambut pariwisata, PICs akan terjerat dalam suatu sistem global di mana mereka hanya memiliki sedikit kendali. Ahli geografi terkenal, Stephen Britton, berpendapat bahwa peran industri pariwisata dalam mengukuhkan pembangunan sebenarnya masih dipertanyakan.

Sudah jelas bahwa pariwisata memiliki potensi untuk memberikan peluang pemberdayaan kepada masyarakat setempat. Namun, riwayat kesuksesan pariwisata sebagai penunjang pembangunan masih belum terbukti: hal ini hanya dapat dicapai dengan tata kelola yang efektif dan dengan keterlibatan tingkat lokal.

Di balik wajah pariwisata

Di balik argumen ekonomi yang optimis, wajah kampanye pariwisata dan gambar-gambar di media sosial Instagram, ada prospek lain yang mengancam juga turut bermain.

Yang pertama adalah skenario hari kiamat yang terus mendekat: perubahan iklim dan naiknya permukaan laut menunjukkan bencana yang akan terjadi dalam waktu dekat untuk beberapa negara PICs.

Kedua adalah sejumlah halangan yang terus-menerus ada dan tidak pernah berubah, untuk mendorong hasil pembangunan menjadi lebih baik. Meskipun arus bantuan pembangunan asing terus mengalir, kemajuan komunitas Pasifik masih tersendat-sendat. Pembangunan dalam bidang kesehatan dan kesejahteraan masyarakat pun nampaknya sulit untuk dicapai.

Semua bidang itu tetap sama saja meskipun kebijakan pembangunan dengan orientasi pariwisata, terus berkembang selama beberapa dekade terakhir.

Meskipun tidak adil jika kita meletakkan kelambanan dari perkembangan pembangunan di kaki industri pariwisata, kegagalan itu memicu berbagai pertanyaan tentang hipotesis pembangunan yang dipimpin industri pariwisata, gagasan yang didukung oleh Bank Dunia dan mitra-mitra pembangunan utama, Australia dan Selandia Baru.

Kalau bukan pariwisata, lalu apa?

Melihat dampak ekonominya, penduduk Kepulauan Pasifik tampaknya menginginkan lebih banyak pariwisata, bukan lebih sedikit.

Hal ini menunjukkan adanya urgensi dalam menyusun kebijakan dan rezim tata kelola, yang memungkinkan untuk bisa mengatasi kendala-kendala, dan meningkatkan keberhasilan industri pariwisata. Kedua reformasi kebijakan tersebut harus diupayakan dan dipertahankan.

Faktanya adalah ketergantungan pada industri pariwisata itu punya risikonya sendiri. Untuk negara-negara PICs, industri pariwisata memang menawarkan prospek ekonomi paling kuat. Masa depan mereka pun mungkin akan tetap sejalan dengan jalur itu. (The Interpreter Lowy Institute, 21/08/2018)